
🌀 … Di tengah kemegahan kekaisaran Romawi dan Persia, lahirlah sosok pemimpin yang tak butuh istana megah atau pengawal bersenjata untuk disegani dunia.
Umar bin Khathab, seorang khalifah yang kerap berjalan tanpa alas kaki dan tidur di atas tanah, justru mengguncang peradaban dengan keadilan dan ketegasannya.
Tidak hanya menaklukkan wilayah, Umar juga memadamkan tradisi jahiliyah, bahkan mampu “berbicara” kepada sungai Nil—dan membuatnya tunduk. Inilah kisah pemimpin sejati yang tak hanya menaklukkan dunia, tapi juga hati manusia.
01 – AWAL MULA GELAR AMIRUL MU’MININ
Setelah wafatnya Rasulullah ﷺ, Abu Bakar Ash-Shiddiq diangkat sebagai khalifah pertama. Beliau dipanggil “Khalifah Rasulullah” — pengganti utusan Allah.
Ketika Abu Bakar wafat dan Umar bin Khathab melanjutkan kepemimpinan, muncul kebingungan baru: apa sebutan yang pantas untuk pemimpin setelah khalifah sebelumnya?
Awalnya Umar disebut “Khalifah Khalifah Rasulullah” (pengganti dari pengganti Rasulullah ﷺ).
Namun masyarakat sadar, jika tradisi ini diteruskan, akan ada sebutan yang sangat panjang seperti “Khalifah Khalifah Khalifah Rasulullah”, dan seterusnya. Hal ini tentu tidak praktis dan membingungkan.
Suatu hari, dua utusan dari Irak — Labid bin Rabi’ah dan ‘Adi bin Hatim — datang ke Madinah dan mencari Umar. Mereka bertanya kepada sahabat Amr bin Al-‘Ash, “Bolehkah kami menemui Amirul Mu’minin?”
Amr terkesiap sejenak, lalu menjawab, “Demi Allah, kalian benar! Kami ini kaum mukmin dan Umar adalah pemimpin kami!”
Segera Amr masuk ke dalam dan mengabarkan hal itu kepada Umar. “Assalāmu ‘alaika, ya Amirul Mu’minin,” ucap ‘Amr. Umar bertanya heran, “Apa maksud dari panggilan itu?”
‘Amr menjelaskan asal-usulnya, dan sejak saat itulah, gelar Amirul Mu’minin (pemimpin orang-orang beriman) resmi digunakan. Gelar ini tetap dipakai hingga kini sebagai simbol kepemimpinan umat. (Ibn ‘Abdi Al-Barr, Al-Istī’āb, 2:466)
02 – MENGHAPUS TUMBAL DI SUNGAI NIL
Salah satu bukti kepemimpinan spiritual Umar yang membumi adalah saat ia menghapus tradisi jahiliyah yang bertahan di Mesir.
Gubernur Mesir saat itu, Amr bin Al-‘Ash, melaporkan kepada Umar mengenai kebiasaan penduduk Mesir melempar gadis perawan ke sungai Nil sebagai tumbal agar air sungai tetap mengalir.
Umar sangat terkejut dan menegaskan bahwa Islam tidak mengenal tradisi menyimpang seperti itu. Ia menulis surat pendek namun penuh makna kepada sungai Nil. Surat itu berbunyi:
“Dari hamba Allah, Amirul Mu’minin Umar, kepada Sungai Nil. Amma ba’du. Jika kamu mengalir karena kehendak dan kuasamu sendiri, maka tidak perlu mengalir …
Namun jika kamu mengalir atas izin Allah Yang Maha Esa dan Mahaperkasa, kami memohon kepada-Nya agar engkau tetap mengalir.”
Surat itu dilemparkan ke dalam sungai Nil. Ajaibnya, keesokan harinya air sungai langsung naik hingga mencapai enam belas hasta! (Al-Bidāyah wa Al-Nihāyah, 7:102-103)
Sejak saat itu, tak pernah ada lagi tradisi sesat tumbal manusia di Mesir. Islam datang sebagai penyelamat akidah, dan Umar sebagai pemimpin yang berani memutus belenggu keyakinan keliru dengan keyakinan tauhid.
03 – TIDUR NYENYAK KARENA KEADILAN
Ketegasan Umar tidak menjadikannya angkuh. Justru, kesederhanaan dan keadilan menjadi jati diri kepemimpinannya.
Suatu hari, seorang utusan dari Kaisar Romawi datang untuk melihat langsung seperti apa sosok pemimpin kaum Muslim yang namanya menggema sampai ke Eropa.
Saat tiba di Madinah, sang utusan bertanya, “Di mana raja kalian?” Penduduk menjawab, “Kami tidak punya raja, kami punya amir. Saat ini dia sedang berada di pinggir kota.”
Sang utusan lalu mencari dan mendapati Umar sedang tidur di tanah beralaskan tongkat, di bawah terik matahari, tanpa pengawal, tanpa tenda, tanpa penghalang.
Pemandangan itu sangat mengejutkan. Sang utusan berkata dalam hati:
“Inilah orang yang kehebatannya mengguncang kerajaan-kerajaan besar. Tapi dia hidup sederhana, tidur nyenyak di tanah karena keadilannya. Sementara raja kami, yang hidup mewah, tidak bisa tidur karena ketakutannya sendiri.”
Ia mengakui kebenaran agama Islam, dan meski belum bisa langsung masuk Islam karena tugas diplomatiknya, ia bersumpah akan kembali sebagai seorang Muslim. (Akhbār ‘Umar, h. 328)
Inilah kemenangan sejati: bukan sekadar ekspansi wilayah, tapi menaklukkan hati dengan akhlak dan keadilan.
04 – UMAR, TELADAN ABADI
Umar bin Khathab bukan hanya pemimpin militer, bukan pula sekadar administrator negara. Ia adalah pemimpin spiritual yang membimbing umat dengan kekuatan iman, logika, dan keberanian.
Ia tidak hanya membangun peradaban, tetapi juga menyucikan akidah dan memperjuangkan keadilan yang menyeluruh — dari istana sampai pinggiran sungai.
Warisan Umar bukanlah istana, bukan pula harta. Tetapi nilai-nilai abadi yang hingga kini masih hidup: keberanian menegakkan kebenaran, ketegasan memutus tradisi sesat, dan kesederhanaan yang menundukkan musuh tanpa pedang.
📝 … Disarikan dari 150 Qishah Min Hayāti Abu Bakar Ash-Shiddiq karya Ahmad ‘Abdul ‘Al Al-Thahthawi.